(Jadi,) Tafsir Kontekstual Tidak Terhindarkan

Tulisan ini adalah ringkasanku mengenai tafsir kontekstual yang aku baca dari artikel Pak Mun'im Sirry (terima kasih, Pak 😀) pada tanggal 14 Mei 2017 di Geotimes dengan judul "Argumen Keniscayaan Tafsir Kontekstual."

https://geotimes.co.id/argumen-keniscayaan-tafsir-kontekstual/

Waktu itu, Pak Mun'im menulisnya dalam kaitan dengan adanya kesalahan asumsi umum bahwa tafsir kontekstual itu mengabaikan teks al-Qur’an atau menolak nilai-nilai universal al-Qur’an. Lebih parah lagi, tafsir kontekstual dianggap menjadikan teks al-Qur’an bersifat inferior (lebih rendah) dari konteks penafsirnya. 
Kesalahan asumsi ini umumnya bermuara dari ketidakpahaman tentang bagaimana cara tafsir kontekstual bekerja atau berfungsi.

Aku tidak akan membahas mengenai tafsir kontekstual pada teks al-Qur'an lebih lanjut, melainkan mengenai pengetahuan tentang tafsir kontekstual.
Namun, kalau ada yang tertarik membaca kelanjutannya, silahkan klik link yang aku sudah jot down di atas.



Aku sangat menyukai tafsir kontekstual dan melalui tulisan Pak Mun'im ini, aku melihat adanya relevansi pada saat menafsir mmm Alkitab (misalnya).






Pijakan utama tafsir kontekstual adalah teks dan konteks.
Tanpa teks, tentu tafsir ini tidak bisa bekerja.



Hans-Georg Gadamer (teoritisi Jerman) menganggap bahwa makna teks sepenuhnya tergantung perspektif pembaca yang dibentuk oleh konteks zamannya.
Pembacaan/ pemahaman dipengaruhi oleh konteks-konteks tertentu yang mengitari pembaca.

Dalam karyanya "Truth And Method" tahun 1975, Gadamer menyebutkan bahwa tidak ada pemahaman yang tidak dipengaruhi oleh sejarah pembacanya.
Understanding is essentially a historical effected event.
Gadamer menekankan bahwa horizon pembaca tidak berdiri sendiri melainkan berdialektika dengan horizon lain.
Dialektika adalah hal berbahasa dan bernalar dengan dialog sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah.
Proses pembauran horizon tersebutlah yang nantinya akan membentuk pengetahuan seseorang dan mempengaruhi pemahaman teks.



Nahhh, ada sebuah filsafat yaitu "Hermeneutika" yaitu filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna.
Salah satu poin penting dalam filsafat hermeneutika adalah di mana makna sebuah teks berada?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, dikembangkan piramida hubungan antara penulis, teks, dan pembaca.
Dapatkah pembaca memahami teks yang dimaksud oleh penulis?
Apakah teks mengandung makna yang beragam?
Mengapa setiap pembaca menafsirkan sebuah teks yang sama secara berbeda?

Dan sebagai respon atas pertanyaan-pertanyaan barusan, maka ada 3 pendekatan yang didasarkan pada hubungan penulis-teks-pembaca itu.



Pertama.
Pendekatan yang memusatkan pada penulis (author-centered approach).

Dalam pendekatan ini, makna teks dipahami terletak pada kehendak sang penulis.
Penulis menulis teks untuk mengkomunikasikan sesuatu, dengan demikian makna yang benar adalah sesuai dengan maksud penulis.

Lalu, bagaimana cara memahami makna teksnya?
Dengan penelusuran terhadap konteks sang penulis dan faktor yang menyebabkan lahirnya teks seperti iklim yang menyebabkan munculnya teks, siapa yang mengucapkan, kepada siapa ditujukan, dan apakah teks tersebut merespon suatu peristiwa tertentu.



Kedua.
Pendekatan teks (text-centered approach).

Penekanannya pada 2 hal.
Yang pertama otonomi teks, yaitu ketika sebuah teks sudah berada di ruang publik, maka makna teks tidak tergantung pada apa yang dimaksudkan penulisnya (Roland Barthes dalam esainya tahun 1967: the death of the author).
Tidak tergantung pada apa yang dimaksudkan penulis dalam artian bahwa kita memang tidak akan pernah tahu secara pasti apa makna yang dikehendaki oleh sang penulis.

Lalu yang kedua adalah peran pembaca dalam memproduksi makna sebuah teks.   



Nah yang hal ke-2 barusan dikembangkan menjadi pendekatan yang ketiga, yaitu pendekatan peran pembaca (reader-centered approach).

Bukan hanya the death of the author, namun makna teks tergantung pada pembacanya.
Teks boleh sama, namun jika pembacanya berbeda tentu berbeda pula pemahaman akan teks.
Secara radikal dapat kita simpulkan pembacalah yang menciptakan makna sebuah teks.


Ada juga yang berargumen bahwa sebuah makna diproduksi dari interaksi antara teks dan pembaca.
Dengan kata lain, makna merupakan produk dari kolaborasi antara pembaca dan teks, dan bukan semata ciptaan pembaca.




Ketiga pendekatan di atas mengaitkan penafsiran dengan konteks.
Entah itu konteks penulis, teks, dan pembaca.



Jadi, tafsir kontekstual tidak terhindarkan.
Sebuah teks akan punya makna apabila terjadi pertautan antara pembaca dan teks.
Artinya, makna teks tidak bermula sejak adanya teks, melainkan ketika dibaca.
  

Seperti yang kusinggung di atas bahwa aku melihat relevansinya dalam penafsiran Alkitab (juga).
Pada beberapa tulisan ke depan, aku akan mencoba menyisipkannya baik secara khusus maupun numpang lewat hehehe.


Menarik bahwa ketika kita memisahkan kata "text" dari "context", maka yang tersisa adalah kata "con" yang berarti tertipu.


Tentunya, ngga ada yang mau tertipu, bukan? 😏
Apalagiii kalau itu adalah kajian kitab suci.
Bisa-bisa ummat "tersesat" karena "tertipu".



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Glico Wings' Frost Bite: Feast Killer

Memberi Makan 4000 Orang

Kamu Kasih Coca-Cola?