Kamu Kasih Coca-Cola?
Hampir tiba di
pertengahan Agustus, aku membaca thread-nya
Wulan Russell (@Wulan Russell) di twitter yang ngebahas tentang Coca-Cola.
Ternyata ada real
Coke dan not real Coke atau fake Coke.
Real Coke itu Coca-Cola buatan Mexico (Hecho
en Mexico), disebut real karena
sejak mereka beli franchise-nya dari
Coca-Cola US, mereka selalu pake gula
asli.
Klo kata si
Wulan, yang ini segerrr, aman dikonsumsi tiap hari sebab pake gula asli. Dia aja
sehari bisa 4 (empat) botol.
Beda dengan founder-nya yang di US, sejak tahun 1985
mereka (US) justru pakai gula buatan (biasanya high
fructose corn syrup) dengan alasan karena mau nekan bajet.
Klo gitu,
artinya mereka sebelumnya juga pake gula asli dongg? Ya emanggg.
Nah yang pake gula buatan inilah yang disebut not real Coke atau fake Coke.
Nah yang pake gula buatan inilah yang disebut not real Coke atau fake Coke.
from @WulanRussell |
Aku klo minum
yang gula buatan begini langsung seret dahh tenggorokan. Bisa langsung radang.
Pernah suatu
saat minum minuman buble tea di sebuah gerai, ehhh langsung malamnya radang
tenggorokan.
Justru aku
taunya setelah baca threat ini.
Waktu itu pas
kena radang tenggorokan, aku mikir-mikir “minum apa ya gue tadi…” ehhh keinget
deh.
Tapi, klo minum
Coca-Cola produksi dalam negeri kebetulan ngga langsung seret. Cuman bikin
parno dikit aja 😀.
Btw harga
sebotol (botol kaca warna hijau muda) Mexican Coke 355mL bisa nyampe IDR
40ribu-an lho.
Ada kutipan menarik
dari novel A Month Of Sundays karya
John Updike:
“Di berbagai gereja (pada umumnya), saya melihat Tuhan
dianggap seperti apa yang dilakukan papan Coca-Cola: mereka menyoroti kehausan
tanpa memuaskannya.”
So what happen? Apa yang terjadi?
Sama seperti
Coca-Cola, kau dan aku selama ini telah “mengkonsumsi “ Injil yang palsu (fake).
Makanya haus
mulu, puasnya ngga pernah-pernah.
Palsu karena
yang harusnya itu adalah kabar baik (Injil
secara harafiah berarti “kabar baik”), eh ini justru orang-orang malah ngga
merdeka, ngga damai, jadi ragu, dibebani dengan kewajiban, ujung-ujungnya makin
depresi.
Lemme tell you.
Yang asli (real) berkata tentang identitas. Kita
itu dikasihi, diampuni, diterima, disucikan, dibenarkan. Pasti tau dong ya “di-“ itu artinya apa. Passive, no action. Cuman
terima doang (ya klo situ nerima sihhh, ngga maksa juga 😊).
Yang palsu (fake) berkata kita harus “membayar”, terlebih dahulu melakukan sesuatu bagi Tuhan (vertikal) dan manusia (horizontal) untuk bisa memperoleh itu semua.
Klo mau diampuni Tuhan, ya ampuni dulu orang yang bersalah kepada kamu dll dll.
Klo mau diampuni Tuhan, ya ampuni dulu orang yang bersalah kepada kamu dll dll.
Yang asli akan
membuat kita feel peaceful, freedom.
Yang palsu
justru ngajarin kita untuk takut (affraid)
kepada otoritas dan itu bikin kita jadi sasaran para manipulator.
Yang asli
mengerjakan apa artinya diselamatkan.
Yang palsu
justru ngga percaya klo dia selamat makanya malah bekerja keras untuk tetap
selamat.
Yang asli bikin
kita beristirahat, santai kya di pantai mengetahui bahwa Awloh ngga murka lagi ke kita, justru mengampuni kita dan Dia lah our strength to carry on.
Yang palsu
bikin kita sweating, pushing hard all the time, bikin resah
dengan terus menerus bertanya apakah amal ibadah pelayananku sudah cukup.
Yang asli mengarahkan kita untuk fokus pada Tuhan & segala sesuatu yang telah Dia tetapkan bagi kita.
Yang palsu mengarahkan kita untuk fokus pada diri kita sendiri, apa yang telah atau mungkin belum
kita lakukan.
Hmmm…
Aku jadi berpikir…
klo gitu itu Tuhan apa bukan yaa? Klo iya kok terlihat miskin, terbatas, dan
dangkal.
Yang asli
adalah apa yang Tuhan established di dalam kita, untuk kita, identitas kita.
Karena
sedemikian besar sayangNya (kasihNya) kepada kita maka Dia berikan ke kita.
KasihNya Sang
Kreator itu “agape” klo bahasa Yunani-nya.
Wikipedia
bilang “agape” itu the highest form of
love, the love of God for man.
Itu sebabnya,
statusnya cuma-cuma.
Kebangetan namanya klo sampe terlintas dalam pikiran
kita untuk “berusaha membayar” sebuah pemberian cuma-cuma!
I really hope i make myself clear here.
Aku sendiri menghabiskan
waktu yang cukup lama untuk percaya hal-hal palsu tersebut.
Plus minus 13
tahun dah, sejak umur 18+ sampe dengan 2014.
Ya aku sadar
ketika ada sesuatu yang salah, tapi aku tetap memikirkan klo kesalahannya
terletak pada diriku sendiri.
Akibatnya,
akupun jadi penyampai pesan palsu berantai bahwa kita harus membuktikan diri
kita dulu, menyucikan diri kita, meluruskan diri kita sebelum kita bisa
diterima yang mana itu kya ngasi tau ke
orang-orang sakit klo elo harus sembuh sebelum dokternya datang.
Gile bener gue 😵.
Thanks God, setelah memutuskan untuk menerima yang "asli", aku diberi belas kasih dan keberanian untuk menjadi penyampai pesan asli berantai, tidak melihat orang lain sebagai “orang duniawi” atau musuh, melainkan sebagai orang yang haus dan menawarkan
yang “asli” kepada mereka sebagai satu-satunya pemuas dahaga yang mendalam.
Sebab dalam
berbagai cara yang berbeda… kita semua sama: kita haus.
Hanya satu hal yang membuat ini menjadi no effect atau ngga ada pengaruhnya sama sekali dan itu adalah: ketidakpercayaan kita.
Jika…
ternyata aku
salah tentang Tuhan yang penuh kasih sayang ini, yang “asli” ini… so aku akan minta maaf pada Tuhan karena
ngasi tau setiap orang klo Tuhan baik pake banget, sangat murah hati bahkan
lebih dari yang aku beritakan.
Tapi jika
ternyata yang “palsu” yang salah… kyanya ntar bakal awkward banget kali yaa.
Bisa dibayangin yang palsu bilang: “maaf Tuhan, aku telah melacurkan kasih sayangMu dengan membuat
orang membayar untuk segala sesuatu yang justeru telah Kau berikan secara cuma-cuma.”
Jadi pengen
Pepsi.
Hahhh? Koq
Pepsi? 😂
Rian over and
out.
🍻
(thank you so very much to Wulan, Philip, and Paul)
Komentar
Posting Komentar