Forgiveness For Sale (A Tribute To Martin Luther)


Tanggal 31 Oktober kemaren tepatnya 502 tahun yang lalu, Martin Luther (1483-1546) memakukan 95 lembar tesisnya ke pintu All Saints’ Church di Wittenberg (Jerman) yang mana sampai sekarang diperingati sebagai Reformation Day.

Sepertinya di Indonesia sepi peminat kali ya untuk memperingati hari ini, tapi klo di Eropa kyanya masih ada deh. 
Apalagi di Jerman, negara asalnya Martin Luther.


@ChrisLarson

 
Lembar-lembar itu berisi kecamannya terutama terhadap praktik jual beli Surat Pengampunan Dosa yang (justru) dibidani oleh gereja dengan hirarkinya pada saat itu.
Jadi klo lo beli suratnya, dosa lo diampuni. Safe and sound.

Klo dia mengecam, berarti dia punya pengertian berbeda dong?
Emberrr… Luther meyakini bahwa pengampunan dosa semata-mata adalah anugerah cuma-cuma dari Tuhan yang tidak akan pernah didasari oleh perbuatan-perbuatan baik seseorang apalagi melalui pembelian surat itu.

Dan sejatinya Luther benar, sebab interpretasinya didukung oleh pernyataan (ayat-ayat) yang terdapat di dalam Alkitab.


Aku bikin tulisan ini sebagai salah satu cara untuk merayakannya.
Dengan merayakan Hari Reformasi ini, aku merasa sangat bersemangat untuk tetap menghidupi cita-citaku khususnya dalam hal rohani.


Aku pikir hari ini sangat penting tidak hanya 502 tahun yang lalu, tetapi juga untuk masa sekarang.
Mengapa demikian?

Sebab banyak ajaran (biasanya dijadikan pedoman) yang hirarki gereja keluarkan saat ini yang yahhh sederhananya: ngga ada di Alkitab.
Ngga ada interpretasi atau eksegesis ayat-ayat Alkitab yang mendukung ajaran-ajaran tersebut.
Dari mimbar, banyak pengajar luput memperhatikan aspek linguistik, lini waktu, dan konteks sejarah yang menyertai pada setiap ayat kitab suci (Alkitab) sehingga menyebabkan makna sesungguhnya terdistorsi.


Oh ya? Iyaaa.
Ini sudah berlangsung turun-temurun, namanya juga ajaran kannn.
Ya bayangin aja, di zaman Martin Luther udah begitu.
Ngga ada kaliii something like jual-beli surat pengampunan dosa di Alkitab. Ngga ada.

Klo di zamannya Martin Luther, dikarenakan keterbatasan akses dan lain-lain, kebanyakan orang mungkin sifatnya cuman nerima aja pengajaran-pengajaran itu.
Nah Martin Luther justru punya akses, karena dia kan seorang biarawan alias bagian dari hirarki gereja itu sendiri.
Yang jelas, orang-orang yang punya akses seperti Luther ya terbatas jumlahnya.


Klo kejadiannya di zaman sekarang?
Di zaman sekarang yang katanya era digital dan transparan di mana membuka kesempatan bagi publik untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya ini aja… masih ada juga yang cukup puas hanya dengan menerima suatu ajaran tanpa memahami lebih lanjut.

Biasanya para elders nih yang begini, yang ngerasa cukup sebagai resipien informasi.
Anggapan mereka studi itu ya buat yang muda-muda lahhhh.
Ada juga golongan orang-orang yang secara situasi dan kondisi sebenarnya capable, tapi karena bermental “gue cuman orang biasa, bukan siapa-siapa” dan malas studi ya samaaa, cuman jadi penerima doang.

Ada satu fakta yang umum terjadi, yaitu anggapan bahwa ajaran atau doktrin yang dikemukakan itu tidak mungkin salah karena disampaikan oleh seseorang yang yahhh punya karunia khusus dan biasanya juga punya jabatan dalam hirarki.
Contoh: Pendeta, Majelis gereja, Pelayan gereja, bisa juga Dosen Teologi, dan sejenisnya.


Apakah benar karunia itu hanya milik segelintir orang saja?
Jelas tidak, sebab tidak ada ayat yang menyatakan klo hanya segelintir orang aja yang dapat mengerti/memahami isi Alkitab itu.

Kata kuncinya: memahami.
Banyak tahu itu satu hal, tetapi memahami adalah hal yang jelas berbeda.


Memahami isi Alkitab, pertama-tama dan ngga bisa ngga harus dimengerti dalam latar belakang budaya dan linguistik aslinya.
Yahhh mo gimana lagi, bahasa aslinya kan bukan dari bahasa ibu kita.
Aku pernah membahasnya di sini.

Yang kedua, perhatikan time frame (lini waktu) yang terdapat di suatu ayat.
Misalnya: generasi ini, sudah di ambang pintu, sudah dekat, lama, dll.
Kegagalan dalam memperhatikan lini waktu aktual mengakibatkan kita salah menempatkan secara presisi apakah sebuah kejadian atau peristiwa tersebut telah atau belum terjadi.


Ketiga, perhatikan konteks historis.
Klo lini waktu udah jelas, maka kita bisa coba cari kejadian atau peristiwa apa saja yang aktual terjadi saat itu.
Sebagai contoh: saat kitab Yeremia ditulis, orang-orang Israel sedang dijajah Babel (Babylon).
Ini biasanya perlu buku bantu, misalnya buku-buku sejarah.




Dari situ, aku jadi kepikiran πŸ’­ gimana yaa nasib orang-orang yang kadung menerima ajaran yang ternyata tidak terdapat di Alkitab?
Ini jelasss sangat berpengaruh terhadap kehidupan spiritual mereka.


Misalnya golongan orang-orang yang sifat-nya “nerima” doang tanpa keinginan untuk merenungkan (studi) lebih lanjut.
Somehow aku yakin dalam suatu tingkat pemikiran, mereka dengan segala keterbatasannya pun so pasti punya beberapa pertanyaan akan doktrin atau pengajaran yang disampaikan tersebut.
Tetapi gegara budaya bertanya tidak lazim dan merasa rendah diri, belom lagi karena itu disampaikan oleh seseorang yang punya kedudukan dalam hirarki… jadinya orang-orang cenderung menepis pertanyaan itu dan bahkan menganggap dirinya tidak semestinya bertanya.


Aku pikir hal ini bisa juga bikin orang jadi ngga Kristen lagi, maksudnya convert ke kepercayaan yang lain atau bahkan jadi atheis.
Awalnya aku ngerasa itu terlalu lebay sampai aku menemukan kenyataan Bertrand Russel (seorang atheis) ternyata demikian.
(Bertrand Russel, Why I Am Not a Christian, New York: Simon and Schuster, 1957).


Emang bener kata Gary DeMar: integritas Alkitab dipertaruhkan jika kita mengabaikan pernyataan-pernyataan yang justru ditulis dengan jelas di Alkitab.



Pagi ini, aku baca artikel dari Chad Bird (twitter @birdchadlouis) berjudul Church Trash, Cotton Candy Spiritualism, and God’s Ongoing Reformation yang sangat relevan dengan Reformation Day ini.
Tiba-tiba aja nongol di twitter, bukan karena sengaja nyari-nyari.

Di situ Chad memaparkan dengan bahasa yang “sangar abiesszzz.”


Chad bilang klo orang-orang saat ini menjadi muak dengan teologis “sampah” gereja yang baunya ya ke mana-mana.
“Bau” moralisme dan legalisme yang terhembus dari mimbar.
Menurutku, orang-orang yang dimaksud Chad ini pasti orang-orang yang memahami, bukan cuman tahu Alkitab.
Yaitu golongan orang-orang yang emang niat studi dan tidak terpenjara oleh status dan kedudukannya saat ini dalam hirarki gereja, orang-orang yang menganggap semua orang punya hak yang sama untuk dapat merenungkan Alkitab siang dan malam.
Ya Martin Luther-nya lahhh kira-kira.
Kala itu do'i nerjemahin Alkitab dari bahasa aslinya ke bahasa Jerman supaya makin banyak orang dapat paham. Bukan cuman "orang dalem" gereja doang kya dia.


Chad juga menyebutkan kalau orang-orang membenci hirarki gereja yang merajalela.
In my opinion mungkin karena sifatnya yang absolut, cenderung merasa bahwa apapun di luar dari yang mereka tetapkan adalah tindakan pemberontakan kepada Tuhan.
Luther pun dicap bidah oleh otoritas hirarki gereja saat itu akibat keberaniannya mengungkapkan hal yang secara eksegesis sangat Alkitabiah.


Chad menutup artikel itu dengan sangat manis, well menurutku lebih manis dari sirup pancake 
πŸ˜„πŸ˜„πŸ˜„

Dia bilang kalau semua reformasi terjadi bukan karena aksi seseorang (atau mungkin sekelompok orang), melainkan… aksi Tuhan.
He reforms. I said amen to that.


Oleh karena kehidupanNya (dalam Kristus Yesus), yang kita kenal lewat Alkitab, semua orang beroleh pengampunan dosa.
Pasti, selalu, selamanya, tak terbantahkan.


Oleh karena kehidupanNya (dalam Kristus Yesus), yang kita kenal lewat Alkitab, bangkit pengajar-pengajar yang digerakkan oleh kenyataan bahwa Yesus telah memproklamirkan kelahiran, kehidupan, kematian, kebangkitan, dan kenaikanNya ke surga.


Dan oleh karena kehidupanNya (dalam Kristus Yesus), yang kita kenal lewat Alkitab, orang-orang yang muak akan spiritualisme permen kapas menjadi “lapar” akan daging Anak Domba dan “haus” akan darah Anak Domba yang disembelih untuk menghapus dosa dunia.



Happy Reformation Day October, 31st 2019.

Rian over and out!
πŸ“Ί πŸ•˜

(thank you Chad, thank you Gary, and ofcourse thank you Opa Martin Luther)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memberi Makan 4000 Orang

Kamu Kasih Coca-Cola?

adidas: Die Marke Mit Den 3 Streifen