Walking Contradiction


Aku mulai berkecimpung di dunia anak-anak via Gereja Anak atau yang lebih akrab disebut sebagai Sekolah Minggu di tahun 2009.
Di penghujung bulan Agustus 2019, aku tergelitik dengan informasi yang kudapat dari Qaris Tajudin via akun Twitter-nya (@QarisT).
Qaris bikin thread tentang betapa seringnya orang tua memberi tekanan yang berlebihan kepada anak-anak dalam hal pendidikan agama.

Di salah satu cuitannya, dia berkata :
“Biasanya anak-anak yang mendapat tekanan di rumah akan cenderung menekan anak-anak yang lain, salah satu bentuk tekanan ke teman-temannya adalah: bully. Tekanan yang diniatkan agar anak menjadi saleh justru menjadi bumerang. Efektifkah cara itu? Mungkin ada yang berhasil, tetapi banyak yang gagal. Anak bahkan berbalik dan menunjukkan pemberontakan kepada orang tua.”



Aku percaya bahwa Tuhan adalah kasih.
I was telling it like crazy.
Tuhan yang adalah kasih itu telah menetapkan dan memberikan kita identitas: bahwa kita adalah orang benar.
Ngga ada hal lain yang bisa bikin itu jadi milik kita selain kita menerimanya.
Menerima berarti lo percaya.
Oleh karena bukan kita yang menetapkan, maka apapun yang kita lakukan tidak akan mempengaruhi status benar kita.
Karena yang menetapkan status itu adalah Tuhan, maka status itu unutterable (tak tergoyahkan).
Sederhana dan logis.
Ngga ada embel-embel tedeng aling-aling.


Aku tau ketika aku tulis kalimat “…apapun yang aku lakukan tidak akan mempengaruhi status benarku” (mungkin) banyak orang akan merespon dengan:
πŸ‘‰ “bukannya kita harus menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya?”
(klo di Kristen sebutannya menjadi pelaku firman dan bukan cuman pembaca atau pendengar doang),
πŸ‘‰ “bukannya iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati?



“Jadi pelaku kitab suci, bukan cuman pendengar atau pembaca doang”, lalu “iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati.”

2 hal di atas sering dibicarakan tanpa mengkonstruksi nilai dan maknanya.
Akibatnya bikin kita fokus kepada diri sendiri yang berujung pada rasa tertekan, tertuduh, dan rasa bersalah tanpa akhir.
Even kita merasa telah melakukan lebih pun, kita tetap resah.
“Apa ini cukup? Apa ini bikin Tuhan seneng? Atau aku harus melakukan yang lebih lagi?”… pertanyaan-pertanyaan ini menghantui kita.



Dikarenakan Injil bukan berisi daftar dari segala sesuatu yang harus kita lakukan, melainkan adalah proklamasi tentang apa yang Tuhan telah lakukan (mengasihi kita)… maka segala sesuatu yang mengindikasikan fokus kepada diri sendiri, patut ditela’ah lebih lanjut.
Yok, kita tela’ah. πŸ”¬ πŸ”




 

Ok yang pertama.

Yakobus 1:22
“Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.”

Banyak orang yang mengutip ayat di atas dannn berhenti sampai di situ.
Coba kita baca kelanjutannya.

Yakobus 1:23
“Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin.”

Yakobus 1:24
“Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya.”


Cermin adalah simbol dari kitab suci (firman Tuhan).
Waktu kita buka “cermin”, kita jadi tau siapa identitas kita sebenarnya. Yaitu:
-          Dikasihi (disayang)
-          orang benar, kudus, dapat dipercaya, memenuhi syarat, terpilih
-          ciptaan baru, lengkap, dan sempurna
-          orang yang segala kebutuhannya dipenuhi berdasarkan kekayaan dan kemuliaanNya
-          ditebus dari kutuk dan diberkahi dengan berkah rohani
-          selalu diampuni
-          ngga lagi berada di bawah penghukuman
-          ngga lagi diingat dosa-dosanya
-          dll dll
   

Nah klo kita lupa akan identitas kita sebenarnya yang “cermin” itu ungkapkan, maka itu artinya kita termasuk golongan orang yang cuman jadi pendengar/ pembaca kitab suci doanggg.
Vice versa, pelaku kitab suci artinya adalah orang-orang yang tidak melupakan identitas dia yang sebenarnya.

Actually, tidak lupa akan siapa identitas kita sangat sangat penting.
Titik “0” kita ya identitas kita itu. Dari situ kita berangkat untuk living our life.




Lanjut yang kedua.

Yakobus 2:17
“Demikian juga halnya dengan iman: jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.”

Yakobus mengajukan contoh peristiwa Abraham yang hendak mengorbankan anaknya Ishak di Yakobus 2:20-24.

Highlight Yakobus 2:24
“Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.”


For your information, Paulus juga mengajukan contoh yang sama lhoo di Roma 4:1-8.

Highlight Roma 4:3,6
(3)  “… lalu percayalah Abraham kepada Tuhan, dan Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran"
(6)  “Seperti juga Daud menyebut berbahagia orang yang dibenarkan Allah bukan berdasarkan perbuatannya: …”


Bandingkan Yakobus 2:17,24 dengan Roma 4:3,6.
Peristiwa yang sama, tapi output-nya berbeda.
Yang satu bilang klo “manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, bukan hanya karena iman doang”, trus satunya lagi bilang “berbahagia orang yang dibenarkan Allah bukan berdasarkan perbuatannya.


Kok terlihat kontradiksi?? Walking contradiction dong kita?
Jadi identitas benar kita ditentukan oleh perbuatan-perbuatan soleh kita apa karena kepercayaan kita terhadap apa yang Tuhan sudah tetapkan/ sematkan as our identity?  

Btw Martin Luther sampe menganggap bahwa kitab Yakobus tidak termasuk dalam Injil cuman gara-gara ayat ini.


Mari kita bahas dengan seksama.
Konteks adalah koentji, sodara-sodara. πŸ”

Cerita ini kan tentang Abraham/ Ibrahim yang mengorbankan anaknya Ishak.
Pertanyaan: kapan Tuhan menyatakan Abraham sebagai orang benar?
Bahkan sebelum Ishak lahirrr! πŸ‘Ά
Itu artinya Abraham telah ditetapkan sebagai orang benar (oleh Tuhan) jauhhh sebelum peristiwa dia hendak mengorbankan anaknya sendiri!!

Kitab Kejadian Pasal 15 membuktikan itu.
Masih ingat kan ceritanya?
Tuhan kasi tunjuk langit, banyak bintang di atas sana, dan Tuhan bilang klo keturunan Abraham bakal sedemikian banyaknya.
Note: he’s not even have a child. Dia bahkan belom punya seorang anak pun lho!
Abraham memilih (nah ini) untuk percaya dan Tuhan memperhitungkan kepercayaannya sebagai kebenaran.
Btw rentang waktu dari peristiwa ini sampai Ishak lahir itu 40 tahun lhoo, bukan waktu yang singkat.



Jadi, klo gitu apa yang dimaksud oleh Yakobus atas pernyataannya itu?
Yakobus mau jelasin ke kita tentang pembenaran di hadapan manusia, bukan di hadapan Tuhan.

Ayat sebelumnya membuktikan itu.
Koq bisa? Sekali lagi: lihat konteksnya.

Yakobus 2:15-16
(15)  “Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari,
(16)  dan seorang dari antara kamu berkata: ‘Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!’, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu?”


Klo ada tetangga ngetuk pintu rumah kita trus bilang klo dia kelaparan banget, ngga punya sesuatu untuk dimakan, dan dia ngarep kita ngasi dia makanan… trus kita berdiri depan pintu cuman bilang “jangan kawatir, Tuhan itu baik, lo pasti dapat makan, ok bhayyy!”… tanpa ngasi dia makanan.
Tetangga lo bakal bilang “wahh udah gila nih orang” πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚
Ya artinya lo ngga keliatan bener di matanya dia.


Pada Tuhan, pembenaran itu tanpa kontribusi kita sama sekali dan sifatnya permanen.
Pada manusia jelas ada kontribusi, momennya conditional, dan sifatnya temporal.



Aku jadi ngerti kenapa Tuhan merancang hal ini sedemikian rupa.
Bisa bayangin klo itu tergantung pada apa yang kita perbuat, maka status benar (identitas) itu akan berhenti sampai kita (pada akhirnya) melakukan sesuatu yang tidak benar. Iya kan?
Kita tidak melakukan sesuatu yang benar untuk menjadi orang benar, melainkan karena identitas kita adalah orang benar.


Ketika kita tau identitas kita, maka kita ngga ngerasa tertekan.
Klo kita ngga tertekan, so pasti hati ngerasa damai, happy, dan lebih peka untuk mengimpartasikan kasih kepada sesama.
Aku yakin orang-orang akan merasakan hal yang sama kalau dia tau identitas mereka terutama secara rohani.

Aku (dan mungkin sebagian besar kita) harus akui klo selama ini telah dibesarkan dalam budaya ketidakpercayaan.
Tapi kita harus memutus “mata rantai” itu.
Alangkah lebih baik kita belajar menetapkan pilihan untuk menerima apa yang sudah Tuhan sediakan.
Saatnya untuk stop meminta kepada Tuhan dan mulai untuk berterima kasih buat apa yang telah Dia lakukan.



You were created by God with the capacity to choose life.
~Danielle J. Strickland.
 

Rian over and out.
πŸ•πŸ“ΊπŸ¬


(thank you Qaris, Adeirra, Joseph, Philip, Paul, and Danielle).















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Glico Wings' Frost Bite: Feast Killer

Memberi Makan 4000 Orang

Kamu Kasih Coca-Cola?